18 Nov 2015

Bisakah Asap Mengubah Perilaku?

Selamat hari kesehatan nasional nice reader…

Kesehatan adalah sesuatu yang berharga bagi setiap orang. Namun, dihari kesehatan nasional ini kita harus berduka cita atas bencana asap yang melanda sebagian pulau di Indonesia. Seperti di lansir dari Riaupos.co Bahwa kurang lebih 12.262 orang terkena Ispa (inspeksi saluran pernapasan akut).

Tahukah teman-teman, bahwa kabut asap ini tidak hanya berbahaya bagi kesehatan fisik saja, namun juga berdampak terhadap kesehatan psikologis seseoarang. Para peneliti telah menemukan bahwa polusi udara tingkat tinggi dapat merusak kemampuan kognitif anak-anak, meningkatkan risiko dari penurunan kognitif dan bahkan mungkin berkontribusi terhadap depresi.

Berikut adalah beberapa dampak dari asap terhadap kesehatan psikologis manusia:

1.       Cognitive connections
Hasil penelitian Jennifer Weuve, MPH, ScD, asisten profesor penyakit dalam di Rush Medical College, menemukan bahwa wanita yang lebih tua dan telah terkena paparan polusi udara tingkat tinggi (kurang lebih selama 7-14 tahun)  mengalami penurunan kognitif lebih besar dibandingkan dengan wanita lain usia mereka (Archives of Internal Medicine, 2012) . Para peneliti menemukan bahwa paparan jangka panjang dari polusi udara tingkat tinggi secara signifikan memburuk penurunan kognitif perempuan, yang diukur dengan tes keterampilan kognitif.

2.        Young minds

Penelitian dari Shakira Franco Suglia, ScD, asisten profesor di Boston University School of Public Health, mengamati lebih dari 200 anak-anak Boston dari lahir sampai usia rata-rata 10 tahun. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang terkena paparan karbon hitam tingkat tinggi menunjukan nilai buruk pada tes IQ seperti memori, verbal dan nonverbal (American Journal of Epidemiology, 2008).

3.   Brain changes
Sebuah percobaan dilakukan oleh Randy Nelson, PhD, seorang profesor ilmu saraf di Ohio State University, terhadap tikus. Dimana tikus tersebut di ekspos tehadap polusi udara tingkat tinggi yang mengandung partikel halus berbahaya lima kali seminggu, delapan jam sehari (untuk meniru kondisi manusia). (Molecular Psychiatry 2011). Setelah 10 bulan, mereka menemukan bahwa tikus yang telah terkena udara tercemar membutuhkan lebih lama untuk belajar tugas maze (labirin) dan membuat lebih banyak kesalahan daripada tikus yang tidak menghirup polusi.

Kita doakan semoga bencana asap seperti kemarin tidak terulang lagi. Karena tentu kita berharap Indonesia selalu bebas asap dan senantiasa sehat.  



Daddy, your child needs you…



Yups, sebenarnya ini artikel yang telat posting, tapi gak apa-apa yah... mengingat everyday is fatherday #halahngarang. hihi..

So, ini artikel yang saya pendam sebelumnya dan baru mau di publish sekarang. Semoga bermanfaat dan selamat membaca... :)

Selamat hari ayah nasional…

Pada hari spesial ini, kita akan membahas mengenai ayah yang sedang jadi topik pembahasan jurnal-jurnal psikologi. Dimana Lewis & Lamb (2003), menemukan bahwa terdapat 700 artikel yang membahas tentang peran laki-laki dalam keluarga.

Sebuah website www.dads4kids.org.au melansir bahwa terdapat kondisi yang harus dikhawatirkan saat ini, yakni kondisi fatherless. Fatherless ini merupakan masalah yang berkembang di Australia dan dunia Barat. Kondisi ini disebabkan oleh perceraian dan perpecahan  keluarga atau sengaja diasuh oleh single parent, sehingga semakin banyak anak yang tumbuh tanpa adanya ayah.

Dengan kata lain, fatherless adalah ketidakhadiran ayah baik secara fisik maupun psikologis. Bertambahnya jumlah perceraian bisa berdampak terhadap terjadinya kondisi ini. Karena ketika ayah dan anak tidak tinggal bersama, maka bisa jadi mengurangi proses pendampingan ayah terhadap anaknya. Sebagaimana hasil penelitain menunjukan bahwa fatherless terjadi akibat ketidakpuasan anak berkomunikasi dengan ayahnya dalam hal kuantitas. Sehingga hal ini menunjukan bahwa adanya kekosongan figure ayah dalam hidupnya. Dimana terjadinya kurang pertemuan ayah dan anak (kock & Lowery, 1984).

Sedangkan peran ayah dalam pengasuhan adalah sama pentingnya dengan peran ibu. Hanya saja selama ini, ayah lebih dikenal dengan sosok financial provider. Padahal peran ayah sangat penting dalam proses perkembangan kognisi, afeksi dan psikomotorik anak. Ketidakhadiran peran ayah akan berdampak pada kondisi psikologis anak. Seperti dimuat pada www.fathers.com menyatakan bahwa beberapa anak di Amerika mengalami fatherless, 6 diantaranya mengalami dampak berikut : lebih terlihat tidak mampu, terkena narkoba dan alcohol, drop out dari sekolah, mudah sakit dan bermasalah secara emosi. Laki-laki lebih berpotensi terlibat kriminalitas dan perempuan lebih berpotensi hamil di usia remaja.

Kondisi ini tentu sangat berkaitan erat dengan “individual differnecces”, namun solusi yang bisa dilakukan adalah meningkatkan komunikasi secara kualitas dan kuantitas antara Ayah-anak. Meskipun orang tua bercerai, namun pengaushan anak tetap memerlukan ayah-ibu. Selain itu kesadaran bahwa laki-laki juga harus hadir dalam pengasuhan adalah hal yang penting. Hal ini bisa ditunjukan dengan ayah juga mendampingi anak belajar dan bermain sesuai tingkat perkembangannya.

Kemudian ibu juga bisa berperan mewakili sosok ayah dengan banyak menceritakan hal-hal positif tentang ayah pada anaknya, agar anak tetap memfigurkan sosok ayah. Atau bisa mengikuti pengasuhan ala Rasulullah Saw, dimana ketika ayahnya meninggal, sosok ayahnya digantikan oleh kakek dan pamannya Abu Thalib. (Jaisyurrahman, mommee.org)

9 Nov 2015

SuksesMulia is My Way

Hari Senin lalu saya berkesempatan memfasilitasi training kubik bersama Pak Jamil Azzaini. Sebuah kesempatan berharga, dimana saya bisa mendapatkan motivasi dan ilmu yang hebat.
Melalui kisah hidupnya, beliau berbagi inspirasi agar kita menjadikan SuksesMulia sebagai jalan kehidupan terbaik.